Beberapa waktu lalu saya dan Mama
saya mendapatkan berkah untuk bisa mengikuti Kathina di Bangkok. Kenapa
ini berkah? Karena selain ini merupakan complimentary, juga bertepatan
dengan perayaan besar Buddhism dan dapat merayakannya di Negara dengan
penduduk Buddhist terbesar di Asia Tenggara.
Suatu ketika saat
saya sedang melakukan persembahan, guide yang menemani kami merasa
kurang nyaman dan terlihat jelas wajahnya kurang begitu bersahabat
dengan salah seorang Biksu yang kami berikan persembahan. Saat prosesi
saya diam saja, namun setelahnya saya dan Mama saya bertanya agar jelas
duduk permasalahannya.
Guide kami menerangkan bahwa Biksu
tersebut saat kami lakukan sebuah prosesi tidak terlihat menerima dengan
baik, menggoyang-goyangkan kaki dan badannya serta mencoba untuk
berbasa-basi dengan dia dengan bertanya beberapa hal yang tidak
sepatutnya ditanyakan oleh seorang Biksu. Saya dan Mama saya tidak
memperpanjang lagi dan langsung mengangguk-angguk mengerti.
Kita
hidup dalam dunia yang kompleks, siapapun bisa menjadi apa saja yang dia
mau. Berpura-pura kaya, bisa berfoto dengan mobil sport dan memajangnya
disosial media. Bisa juga dengan berfoto dengan semua emas yang
melingkar ditangan, kaki, perut dan kepala. Bisa juga dengan berfoto
didalam pesawat pribadi atau apapun juga. Namun bukan berarti bahwa
semua orang yang melakukan berpura-pura, karena bisa jadi juga itu
adalah kebenaran.
Sebuah kebenaran hanya bisa dipastikan oleh
pelaku yang melakukan dan Tuhan. Namun cirinya bisa dipertimbangkan oleh
siapa saja. Bagi saya, Biksu adalah manusia juga. Bahkan sebagian besar
masihlah manusia biasa yang belum mencapai tingkat kesucian tertentu.
Tetapi selama beliau sudah ditahbiskan, sudah melaksanakan Vinaya,
berbagi ilmu dalam Dhamma serta berperilaku benar, bagi saya Biksu
tersebut sudah jauh lebih baik dari saya yang memilih sebagai perumah
tangga (manusia biasa).
Dalam jaman Sang Buddha tidak sedikit
kisah Biksu yang berpikiran dan berbuat hal tidak baik. Bahkan seorang
kerabat Buddha Gautama yang menjadi Biksu pernah ingin mencelakakan
beliau. Hal ini meracuni dan membuat sedikit dari orang yang belum
mengenal Dhamma ketika itu menilai Biksu tidak benar. Hal ini adalah
karena kebiasaan manusia melihat segala sesuatunya secara stereotype
visual.
Di jaman kekaisaran China, hanya Kaisar yang boleh
menggunakan Jubah Naga berwarna Kuning. Permaisuri dan Selir Utama juga
memiliki hiasan rambut dan pakaian yang berbeda. Ini karena banyak yang
belum pernah melihat wajah mereka. Hanya dengan melihat pakaian maka
orang biasa menjadi tahu mereka berhadapan dengan siapa.
Walaupun alasan Biksu menggunakan jubah bukan karena sedangkal demikian,
namun secara garis besar akan membuat pengertian dan memunculkan
stereotype yang sama. Ketika saya berjalan-jalan di jalan raya dan
menemui orang yang "Botak" serta mengenakan Jubah, serta merta saya akan
memberikan sikap Anjali sebagai penghormatan. Sikap saya ditunukan
kepada Jubahnya, individu didalamnya akan juga menerimanya secara tidak
langsung.
Karena ini bukan membicarakan Jubah, maka saya tidak
menjelaskan panjang pendek kisah Jubah. Namun maksud penulisan ini,
dengan dikaitkan dengan gambar dibawah serta kisahnya ingin meluruskan
bahwa tidak semua yang menyatakan dirinya sebagai Biksu adalah orang
yang baik dan benar. Ada yang berpura-pura menjadi biksu secara artian
harafiahnya, atau belum pernah ditahbiskan tetapi menggunakan jubah
Biksu. Ada juga yang berpura-pura menjadi Biksu secara batiniahnya.
Ditahbiskan, belajar Dhamma, namun melakukan praktek Dhamma yang keliru
dan menimbulkan pemahaman yang keliru.
Bagi saya stereotype itu
yang harus kita rubah. Kita boleh menghormati jubahnya, namun tidak
selalu harus mengikuti perintahnya. Karena bisa jadi Ajaran Dhamma dan
ajaran KeTuhanan tidak dilakukannya dengan benar sehingga kita akan
menerima informasi yang keliru. Ajaran Buddhist adalah ajaran kedamaian,
untuk mencapai kesempurnaan dalam pemikiran dan tingkah lakunya,
memiliki keseimbangan Bathin dan mengerti akan kebenaran untuk mencapai
Nibbana, bukan untuk menerima dana yang bagus-bagus, menerima sumbangan
yang banyak atau menikmati kehidupan duniawi.
Semoga dengan
mengerti hal ini maka kita bisa menjadi lebih baik dalam menjalankan
kebajikan dan kebenaran, semoga semua makhluk hidup berbahagia, Sabbe
Satta Bhavantu Sukkbitatta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar