Sabtu, 24 Desember 2016

Biksu yang berbuat kejahatan

Beberapa waktu lalu saya dan Mama saya mendapatkan berkah untuk bisa mengikuti Kathina di Bangkok. Kenapa ini berkah? Karena selain ini merupakan complimentary, juga bertepatan dengan perayaan besar Buddhism dan dapat merayakannya di Negara dengan penduduk Buddhist terbesar di Asia Tenggara.
Suatu ketika saat saya sedang melakukan persembahan, guide yang menemani kami merasa kurang nyaman dan terlihat jelas wajahnya kurang begitu bersahabat dengan salah seorang Biksu yang kami berikan persembahan. Saat prosesi saya diam saja, namun setelahnya saya dan Mama saya bertanya agar jelas duduk permasalahannya.

Guide kami menerangkan bahwa Biksu tersebut saat kami lakukan sebuah prosesi tidak terlihat menerima dengan baik, menggoyang-goyangkan kaki dan badannya serta mencoba untuk berbasa-basi dengan dia dengan bertanya beberapa hal yang tidak sepatutnya ditanyakan oleh seorang Biksu. Saya dan Mama saya tidak memperpanjang lagi dan langsung mengangguk-angguk mengerti.

Kita hidup dalam dunia yang kompleks, siapapun bisa menjadi apa saja yang dia mau. Berpura-pura kaya, bisa berfoto dengan mobil sport dan memajangnya disosial media. Bisa juga dengan berfoto dengan semua emas yang melingkar ditangan, kaki, perut dan kepala. Bisa juga dengan berfoto didalam pesawat pribadi atau apapun juga. Namun bukan berarti bahwa semua orang yang melakukan berpura-pura, karena bisa jadi juga itu adalah kebenaran.

Sebuah kebenaran hanya bisa dipastikan oleh pelaku yang melakukan dan Tuhan. Namun cirinya bisa dipertimbangkan oleh siapa saja. Bagi saya, Biksu adalah manusia juga. Bahkan sebagian besar masihlah manusia biasa yang belum mencapai tingkat kesucian tertentu. Tetapi selama beliau sudah ditahbiskan, sudah melaksanakan Vinaya, berbagi ilmu dalam Dhamma serta berperilaku benar, bagi saya Biksu tersebut sudah jauh lebih baik dari saya yang memilih sebagai perumah tangga (manusia biasa).

Dalam jaman Sang Buddha tidak sedikit kisah Biksu yang berpikiran dan berbuat hal tidak baik. Bahkan seorang kerabat Buddha Gautama yang menjadi Biksu pernah ingin mencelakakan beliau. Hal ini meracuni dan membuat sedikit dari orang yang belum mengenal Dhamma ketika itu menilai Biksu tidak benar. Hal ini adalah karena kebiasaan manusia melihat segala sesuatunya secara stereotype visual.

Di jaman kekaisaran China, hanya Kaisar yang boleh menggunakan Jubah Naga berwarna Kuning. Permaisuri dan Selir Utama juga memiliki hiasan rambut dan pakaian yang berbeda. Ini karena banyak yang belum pernah melihat wajah mereka. Hanya dengan melihat pakaian maka orang biasa menjadi tahu mereka berhadapan dengan siapa.

Walaupun alasan Biksu menggunakan jubah bukan karena sedangkal demikian, namun secara garis besar akan membuat pengertian dan memunculkan stereotype yang sama. Ketika saya berjalan-jalan di jalan raya dan menemui orang yang "Botak" serta mengenakan Jubah, serta merta saya akan memberikan sikap Anjali sebagai penghormatan. Sikap saya ditunukan kepada Jubahnya, individu didalamnya akan juga menerimanya secara tidak langsung.

Karena ini bukan membicarakan Jubah, maka saya tidak menjelaskan panjang pendek kisah Jubah. Namun maksud penulisan ini, dengan dikaitkan dengan gambar dibawah serta kisahnya ingin meluruskan bahwa tidak semua yang menyatakan dirinya sebagai Biksu adalah orang yang baik dan benar. Ada yang berpura-pura menjadi biksu secara artian harafiahnya, atau belum pernah ditahbiskan tetapi menggunakan jubah Biksu. Ada juga yang berpura-pura menjadi Biksu secara batiniahnya. Ditahbiskan, belajar Dhamma, namun melakukan praktek Dhamma yang keliru dan menimbulkan pemahaman yang keliru.

Bagi saya stereotype itu yang harus kita rubah. Kita boleh menghormati jubahnya, namun tidak selalu harus mengikuti perintahnya. Karena bisa jadi Ajaran Dhamma dan ajaran KeTuhanan tidak dilakukannya dengan benar sehingga kita akan menerima informasi yang keliru. Ajaran Buddhist adalah ajaran kedamaian, untuk mencapai kesempurnaan dalam pemikiran dan tingkah lakunya, memiliki keseimbangan Bathin dan mengerti akan kebenaran untuk mencapai Nibbana, bukan untuk menerima dana yang bagus-bagus, menerima sumbangan yang banyak atau menikmati kehidupan duniawi.

Semoga dengan mengerti hal ini maka kita bisa menjadi lebih baik dalam menjalankan kebajikan dan kebenaran, semoga semua makhluk hidup berbahagia, Sabbe Satta Bhavantu Sukkbitatta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar